Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat
Desa Leuwidingding berasal dari suku kata LEUWI dan DINDING/ DINGDING. Kata LEUWI (dari BHs. Sunda) arti menurut (Bhs.Indonesia) adalah : LUBUK, (menurut Kamus KBBI arti Lubuk secara Geografis adalah : Bagian Terdalam ) dan kata DINDING/ DINGDING artinya adalah PENYEKAT/ TEMBOK. jadi nama Desa Leuwidingding artinya adalah : sebuah kampung atau wilayah yang bersekat/ bertembok/ Bebatuan yang menjorok kedalam. Desa Leuwidingding terletak disebelah timur dengan jarak ± : 30 Km dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Cirebon, dengan ketinggian 18 Meter Dpl (Diatas Permukaan Laut). luas wilayah 117,100 Ha dan termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon Provinsi Jawa Barat).
Mayoritas penduduk Desa Leuwidingding bermata pencaharian sebagai buruh tani, pedagang, buruh bangunan, serta pegawai negeri atau swasta, dan memiliki sejarah terwujudnya Desa Leuwidingding.
Pusat pemerintahan dan pelayanan masyarakat Desa Leuwidingding.
Jiwa Penduduk
Jumlah Laki - laki
Jumlah Perempuan
RW
RT
Dengan Semangat Persaudara Gotong Royong Dan Akhlak Mulia Guna Mewujudkan Desa Leuwidingding Yang Maju
Berikut peta dan lokasi Desa Leuwidingding di Kecamatan Lemahabang, Kabupaten Cirebon
Sekitar abad ke XIV- XV disebuah pedukuhan Panongan terdapat sebuah kali yang bernama Kali Singaraja yang panjangnya sekitar 12 km, kali tersebut berawal dari air pegunungan yang mengalir dari Desa Panongan melewati Desa Leuwidingdimg, Desa Tuk Karangsuwung, Desa Lemahabang, Desa Astanajapura hingga kelaut Daerah Kalibangka. Di kali singaraja dihuni dan dikuasai oleh seorang Ki Demang yang berwujud seekor Singa yang sakti mandraguna,. bertugas ditapal batas Hutan Sedong serta Hutan Sampih sebagai utusan dari Kerajaan Galuh Pakuan/ Padjajaran, dengan secara tiba- tiba Ki Demang dikagetkan dengan kedatangan tamu yang mengaku utusan dari Kerajaan Galuh Pakuan/ Padjajaran yang mengaku seorang Punggawa dengan berpakaian baju Macan dengan kancing sebanyak 21 buah. Beliau datang sudah berwujud Macan yang berasal dari Gunung Ciremai, akan tetapi pertemuan kedua makhluk tersebut masing- masing mempunyai prasangka yang berlainan, sehingga timbul suatu anggapan yang berbeda, disangka kedatangan Sang Tamu tersebut (yang berwujudkan se ekor Macan) hendak merebut kekuasaan Ki Demang / Sang Singa di wilayahnya kali singaraja, maka timbullah perselisihan paham, bahkan sampai terjadi perang tanding dengan mengadu kesaktian diantara kedua belah pihak yang berlangsung cukup lama karena sama- sama memiliki ilmu kanuragan/ kesaktian yang sakti madraguna. Hingga pada saat yang tepat Sang Punggawa (Sang Macan) mengeluarkan Pusaka andalannya yang berupa senjata tajam sakti yang berupa Gobang ( sejenis Golok panjang yang berbentuk seperti Pedang ) maka Sang Singa merasa kewalahan dalam perkelahian adu kesaktian, entah karena apa tiba- tiba kedua pendekar tersebut dengan spontan menghentikan pertarungannya. Sehingga kesadaran mereka timbul bahkan keduanya saling menyadari atas kesalah pahaman tersebut dan yang ternyata keduanya adalah sama- sama mempunyai tujuan yang sama dan atas satu perintah yang sama yaitu titah dari Kerajaan Galuh pakuan/ Kerajaan Padjajaran, keduanya saling memaafkan dan kemudian beristirahat pada bekas pertarungan tadi di sebuah pedukuhan Asem. Keduanya lalu melanjutkan perjalanannya dan melewati Daerah Desa Picungpugur selanjutnya menetap di tempat itu sambil melakukan tapa bratanya, pada tanah yang tertinggi di daerah tersebut Ki Demang/ Sang Singa kemudian menjalankan tapa bratanya dibawah pohon picung yang ditemani oleh Sang Punggawa/ Sang Macan hingga bertahun- tahun lamanya, sampai suatu saat Sang Punggawa/ Sang Macan ingin meninggalkan Ki Demang/ Sang Singa, namun sebelum meninggalkan tempat tersebut Sang Macan mencari ranting dan pucuk pohon picung untuk melindungi Sang Singa yang sedang bertapa itu. Setelah berakhirnya Sang Singa bertapa yang sampai memakan waktu yang cukup lama sampai waktu bertapanya selesai, ternyata pohon picung tersebut pucuknya sudah tidak ada lagi, maka daerah tersebut diberi nama oleh Sang Singa “ Picungpugur “ (pohon picung yang sudah pugur/ sudah tidak ada lagi pucuknya) . Perjalanan sang macan yang telah sekian lamanya, hingga pada suatu saat teringatlah dia pada sahabatnya yaitu Sang Singa dengan berhenti dan duduk termenung disuatu tempat yang secara tiba- tiba tanah yang didudukinya itu amblas menyerupai danau/ sungai/ kali (dalam bahasa sundanya ‘Leuwi”) dan tepinya tidak datar membentuk dinding. dalam keadaan tersebut datanglah Sang Singa sahabatnya dulu yang pernah ditinggalkannya dan yang sedang dikenangnya, disaat kedatangan Sang Singa tanah tersebut bertambah amblasnya dengan semakin mendalam menyerupai Leuwi ( Lubuk yang dalam bahasa Indonesianya ) dan dinding bebatuannya pun jadi kelihatan semakin tinggi, tanah tersebut kemudian menjadi suatu wilayah yang semakin lama dan lambat laun disekitar tempat tersebut ramai didatangi banyak orang hingga menetap menjadi pemukiman yang akhirnya berkembang menjadi sebuah pedukuhan yang bernama Desa Leuwidingding. Mereka pun berdua melanjutkan perjalanannya kearah utara di perbatasan Desa Tuk dan Desa Leuwidingding keduanya berhenti karena melihat banyak orang yang sedang bermusyawarah untuk menyiarkan dan menegakkan ajaran agama islam. dalam hati mereka dengan saling bertanya satu sama lainnya “ siapakah mereka itu ? dengan segala rasa penasaran yang ada akhirnya mereka berduapun mendekati tempat pedukuhan itu dan saling mengenalkan diri mereka masing- masing kepada seorang tokoh ulama penyebar islam di wilayah tersebut yang bernama Ki Ardisela dan Mbah Muqoyyim, selanjutnya tempat tersebut dikenal dengan nama Blok Ragem asal kata Rageman yang artinya ( Kesepakatan/ Kekompakan ). Hingga untuk beberapa waktu mereka berdua Sang Singa dan Sang Macan menetap dan belajar agama islam kepada kedua ulama tersebut dan selanjutnya Sang Singa masih ingin meneruskan perjalanan kelananya kearah utara sampai ke Pesisir Kali Bangka dan entah kemana lagi serta entah sampai kapan lagi. Sedangkan Sang Macan menetap dan mengabdi kepada sang gurunya yakni Ki Ardisela sampai akhir jaman. yang dikenal namanya yakni Macan Cimandung. ( yang konon menurut beberapa sumber dan para saksi yang masih hidup dan pernah bertemu dengan Sang Macan Cimandung tersebut sering berkeliling antara Desa Tuk Karangsuwung sampai sekitar Blok Pesantren Desa Leuwidingding pada waktu tengah malam tertentu untuk menjaga wilayah tersebut ). Salah satu santri Mbah Ki Ardisela yang bernama/ berjuluk Ki Dempet (salah satu anak dari Syekh Japura anak Ki Ageng Japura yang beristrikan Dewi Rokatwati anak dari Ki Geden Leuwidingding) yang berasal/ tinggal di perkampungan Leuwidingding (sebelum menjadi sebuah desa) dengan dibantu oleh Sang Macan (yang sudah berumur ± ratusan tahun namun masih gagah perkasa), mereka bersama sama berjuang melawan Penjajahan Kolonial Belanda yang ingin menggempur dan menghancurkan Padepokan dan menangkap Gurunya Mbah Ki Ardisela yang berusaha menyerang dari arah sebelah timur Leuwidingding dengan membuat parit/ saluran yang dialiri air dari Kali Singaraja yang berhulu dari Daerah Panongan untuk mencegah masuknya pasukan Belanda. hingga akhirnya Pasukan Belanda tidak bisa memasuki wilayah Leuwidingding karena terhalang parit/ saluran yang sudah menjadi kali singaraja besar yang deras airnya. Atas jasa dan baktinya Ki Dempet tersebut, Mbah Ki Ardisela (menjabat sebagai Demang Karangsembung) mengangkat muridnya yang dianggap berjasa yaitu bernama Ki Dempet Menjadi Kuwu Pertama Desa Leuwidingding (yang sekarang menjadi sebuah desa di Wilayah Administrasi Kecamatan Lemahabang Kabupaten Cirebon) atas pengajuan Mbah Ki Ardisela serta atas izin dari Kerajaan Kasepuhan Cirebon.
Temukan produk-produk unggulan dari pelaku UMKM Desa Leuwidingding.
Lihat Produk LainnyaRp10.000 / Bungkus
Tape Ketan Daun Jambu adalah camilan tradisional yang dibuat dengan fermentasi ketan pilihan dan dibungkus daun jambu segar. Aroma khas daun jambu membuat rasanya semakin unik, segar, dan nikmat. Dengan rasa manis legit alami, tape ini cocok untuk dinikmati bersama keluarga, dijadikan suguhan tamu, maupun oleh-oleh khas desa yang selalu berkesan
Rp12.000 / Bungkus
Nikmati kriuk gurih Rengginang yang selalu jadi favorit semua kalangan. Dibuat dengan bahan berkualitas dan resep tradisional, setiap gigitannya menghadirkan rasa otentik yang khas. Rengginang cocok dinikmati kapan saja, baik saat kumpul keluarga, acara spesial, atau dijadikan oleh-oleh khas desa.